Pendiri Yayasan Pusaka Tangerang " Pembelajaran Berbasis Budaya Masih Berjalan Setengah Hati "

Pendiri Yayasan Pusaka Tangerang " Pembelajaran Berbasis Budaya Masih Berjalan Setengah Hati "

Smallest Font
Largest Font

Tangerang - Pembelajaran Berbasis Budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran.  Zulpikar Sebagai Pendiri Yaysan Pusaka Tangerang, berpendapat ," Pendidikan berbasis budaya (culture based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis budaya lebih dipicu oleh dua arus besar. Pertama, berangkat dari asumsi modernisme yang telah sampai pada titik kulminasinya sehingga cenderung membuat manusia untuk kembali kepada hal-hal yang bersifat natural (alami). Kedua, modernisasi sendiri yang menghendaki terciptanya demokrasi dalam segala dimensi kehidupan manusia. Berangkat dari hal tersebut, mau tidak mau pendidikan harus dikelola secara lebih optimal dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat dengan muatan value cultur (kebijakan lokal) sebagai bagian dari tujuan isi dari pendidikan  ".                                              

Zulpikar, melanjutkan , " Untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal, pemerintah menekankan kurikulum pendidikan muatan lokal. Kurikulum ini bukan barang baru, sejak tahun 1987, keberadaannya dikuatkan dengan SK Mendikbud RI No. 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987. Di era reformasi, Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa struktur kurikulum pada setiap satuan pendidikan memuat tiga komponen, yaitu mata pelajaran , muatan lokal, dan pengembangan diri ".                

Masih menurut Zulpikar , " Muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya, serta kebutuhan pembangunan daerah setempat. Namun sayang, Pada praktiknya, muatan lokal dipandang sebagai pelajaran kelas nomor dua dan pelengkap kurikulum. Sekolah-sekolah menerapkannya hanya sebatas formalitas untuk memenuhi tuntutan dari pemerintah. Dari sisi peserta didik, muatan lokal hanya sebatas hafalan semata untuk dapat mengerjakan soal, bukan sebagai way of life dalam kehidupan nyata ".(Red)

Editors Team
Daisy Floren